Perjalanan negara-negara Teluk Arab setelah kemerdekaan menunjukkan arah yang kontras dibandingkan Yaman Selatan. Qatar, Bahrain, dan Uni Emirat Arab (UEA) mampu menata politik internal dan regional secara bertahap, sementara Yaman Selatan justru terjebak dalam siklus konflik, ideologi, dan keterbatasan sumber daya yang menghambat pembangunan jangka panjang.
Qatar dan Bahrain, meski sama-sama keluar dari rencana federasi bersama Abu Dhabi pada awal 1970-an, memilih jalur kedaulatan penuh dengan pendekatan politik yang hati-hati. Mereka tidak terburu-buru mengklaim peran regional besar, melainkan memprioritaskan stabilitas internal dan pengakuan internasional.
Bahrain, misalnya, menghadapi tantangan demografis dan sektarian sejak awal kemerdekaan. Namun kerajaan itu memilih memperkuat institusi negara, menjaga hubungan erat dengan Saudi, dan menahan diri dari konfrontasi regional terbuka yang bisa memicu instabilitas domestik.
Qatar juga menghadapi dilema serupa sebagai negara kecil dengan ambisi besar. Bedanya, Doha secara sadar membangun politik luar negeri berbasis mediasi dan diplomasi, bukan konfrontasi langsung. Pendekatan ini membuat Qatar diterima oleh aktor-aktor yang saling bermusuhan, tanpa harus terjebak dalam konflik mereka.
Keberhasilan Qatar terletak pada kemampuannya memisahkan konflik regional dari stabilitas domestik. Meski kerap bersitegang dengan tetangga, Doha selalu memastikan konflik eksternal tidak merusak fondasi ekonomi dan institusi dalam negeri.
UEA menempuh jalan berbeda. Persatuan tujuh emirat pada 1971 bukanlah proses yang mulus. Perbedaan kepentingan, kekuatan ekonomi, dan ambisi politik membuat federasi itu rapuh di awal berdirinya.
Abu Dhabi dan Dubai menjadi motor utama federasi, tetapi tidak semua emirat langsung sepenuhnya menerima struktur baru. Ras al-Khaimah bahkan memilih bergabung setahun kemudian, pada 1972, setelah jaminan keamanan dan kepentingannya dinegosiasikan secara khusus.
Masuknya Ras al-Khaimah mencerminkan pendekatan UEA dalam menyelesaikan persoalan internal: negosiasi, pembagian manfaat ekonomi, dan jaminan otonomi lokal dalam kerangka federasi. Konflik tidak diselesaikan dengan kekerasan, melainkan dengan insentif dan konsensus elit.
Pendekatan ini sangat berbeda dengan Yaman Selatan pasca-1967, di mana federasi dan kesultanan dihapus secara total. Alih-alih mengakomodasi perbedaan regional, negara baru memilih sentralisasi ideologis yang mengabaikan keragaman lokal.
Dalam konteks Yaman hari ini, diskusi regional kembali menyoroti peran Oman dan Qatar sebagai aktor penyeimbang. Oman dipandang sebagai pintu gerbang kemanusiaan dan ekonomi bagi Yaman, terutama selama masa blokade dan konflik.
Muscat membuka perbatasan, bandara, dan jalur perdagangan, memberi ruang napas bagi warga Yaman tanpa ikut terseret langsung ke dalam perang. Peran ini membuat Oman dihormati sebagai tetangga yang netral dan stabil.
Oman juga melihat stabilitas Hadramaut dan Al-Mahrah sebagai kepentingan langsung. Ketegangan di wilayah itu berpotensi merembet ke perbatasannya, menjadikan Oman bukan sekadar pengamat, tetapi pihak yang berkepentingan menjaga ketenangan melalui jalur diplomasi.
Di sisi lain, Qatar dipandang memiliki kapasitas untuk menyeimbangkan pengaruh Uni Emirat Arab di Yaman. Namun pasca-rekonsiliasi GCC, Doha memilih menahan diri agar tidak membuka front konflik baru di dalam Dewan Kerja Sama Teluk.
Sikap hati-hati Qatar ini bukan karena ketiadaan kemampuan, melainkan kalkulasi politik. Doha dinilai siap bergerak cepat bila Arab Saudi secara resmi meminta peran aktifnya dalam menstabilkan Yaman.
Hal ini menunjukkan perbedaan penting antara negara Teluk dan pengalaman Yaman Selatan. Negara-negara Teluk membangun mekanisme koordinasi regional sebelum konflik membesar, sementara Yaman kerap bereaksi setelah krisis meledak.
Keberhasilan Qatar, Bahrain, dan UEA juga terletak pada kesadaran batas kekuatan mereka. Mereka menghindari konflik ideologis besar dan fokus pada pembangunan institusi serta ekonomi sebagai fondasi legitimasi negara.
Sebaliknya, Yaman Selatan lahir dari revolusi bersenjata dan ideologi keras, tanpa sumber daya yang cukup untuk menopang negara. Konflik internal berulang membuat pembangunan tidak pernah mencapai fase konsolidasi.
Perbandingan ini membuat banyak pengamat menilai bahwa masalah Yaman bukan semata pada aktor hari ini, tetapi pada cara negara itu terbentuk dan diwariskan. Ketika Teluk memilih evolusi, Yaman terjebak dalam revolusi permanen.
Kini, peran Oman dan Qatar kembali menjadi penting sebagai contoh dan penyeimbang. Keduanya menunjukkan bahwa stabilitas regional dapat dicapai bukan dengan dominasi militer semata, melainkan dengan kesabaran diplomasi.
Pada akhirnya, pelajaran dari Teluk Arab adalah bahwa persatuan, pemisahan, atau federasi bukan soal bentuk, melainkan cara mengelola perbedaan. Tanpa itu, sejarah Yaman berisiko terus berulang dalam lingkaran konflik yang sama.
loading...
