“Jam buka resminya sih dari jam 8.30 pagi sampai jam lima sore, Senin sampai Minggu. Tapi, anak-anak itu sudah banyak yang datang jam tujuh pagi. Banyak dari mereka datang dari jauh dengan jalan kaki, atau naik sepeda. Ya tak sampai hatilah untuk menolak mereka. Jadi, kadang belum sempat mandi pun, saya buka pintu untuk mereka,” kisah Santi WE Soekanto, yang membuka Rumah Baca Stasiun Buku, perpustakaan pribadi yang dibuka gratis untuk anak-anak umum, terutama di kawasan Kampung Betawi di sekitar Gang Poncol, Jalan RTM, Kelapa Dua, Depok.
Dibuka resmi pada September 2000, Stasiun Buku dimulai dengan 700-an buku dan 50 anggota. Kini bukunya sekitar 800 tetapi anggotanya sudah meledak jadi 400-an anak usia Pra-TK, TK, SD, SLTP, bahkan beberapa di antaranya SMU. Tidak sedikit juga yang putus sekolah. Mereka kebanyakan berasal dari keluarga yang tak cukup mampu menyediakan bacaan bagi anak-anaknya.
Dengan atau Tanpa Televisi, Tak Masalah!
Kalau sedang hujan deras, puluhan anak yang biasanya sebagian membaca-baca di halaman, akan berdesak-desakan di perpustakaan yang menempati
ruang tamu ukuran empat kali empat meter di rumah kontrakan itu. Menonton VCD film-film yang yang dianggap baik dan bermanfaat. Macam Children of Heaven dan Discovery Channel.
Nama Stasiun Buku sendiri sebenarnya dipilih dengan semangat "perlawanan." Awalnya, “Saya dan suami saya, Wisnu Pramudya prihatin pada menjamurnya penyewaan Play Station di sudut-sudut kampung. Pulang sekolah, anak-anak diracuni permainan yang tak banyak gunanya dan menghabiskan uang orangtuanya,” kata Santi, yang tahun 1980-an dikenal sebagai cerpenis di sejumlah majalah remaja.
“Dari Play Station mereka pulang, lalu harus berhadapan lagi dengan televisi yang semakin tak sehat isinya. Karenanya nama yang dipilih Book Station alias Stasiun Buku. Lawannya Play Station, he…he…,” lanjut Santi tentang permainan yang dianggap sangat mengalihkan perhatian anak-anak untuk bermasyarakat sekaligus mengedepankan kekerasan pada usia yang demikian dini itu.
Santi dan Wisnu juga sepakat untuk mengambil langkah lebih jauh yang diterapkan di keluarga mereka sendiri. “Dijamin, di rumah baca ini juga tak ada televisi. Kami berharap ada kesan yang kuat bagi anak-anak, bahwa rumahyang nyaman dan penuh ilmu pengetahuan tak harus ada televisinya. Mmeskipun juga tak harus tidak ada televisinya.”
Sejauh ini, dua putri mereka yang berusia 13 dan tiga tahun, tampaknya bisa menerima pilihan orangtuanya. Pengaruh positifnya adalah, “Putri bungsu saya, kalau dituruti dalam sehari bisa minta dibacakan sampai 15 buku,” tutur Santi yang kini memutuskan untuk menjadi penulis lepas usai bergabung dengan Jakarta Post sebagai redaktur sosial politik sejak 1996, “Di sela-sela tugas saya memasak dan mengurus rumah.”
Dari Sabun sampai Sarung
Sebulan sekali, Stasiun Buku mengadakan perlombaan untuk anak-anak. Ada lomba menulis surat cinta untuk orangtua, lomba melukis peta, lomba bercerita, lomba mengarang, dan yang favorit, lomba mencari jejak harta karun.
“Saya dibantu putri sulung saya. Mereka bersemangat sekali ikut. Hadiahnya, tergantung rezeki dan sumbangan. Kadang sarung atau T-shirt. Tapi kalau sedang tak ada, persediaan bulanan sabun mandi di rumah pun bisa jadi hadiah. Anak-anak itu senang-senang saja. Tanpa memandang harganya, seberapapun kecilnya, yang penting adalah pengakuan atas pencapaian mereka,” ujar Santi.
Dan setiap Minggu, pukul 10.00 ada acara mendongeng. Yang mendongeng, bisa berganti-ganti. Kadang Santi, “Yang saya bacakan biasanya dari buku-buku berbahasa Inggris, hadiah dari teman-teman waktu saya kuliah S2 Politik dengan beasiswa British Chevening Award tahun 1999-2000.” Kadang suaminya, Wisnu Pramudya. Bahkan Ayu (15), siswi SMU kelas 2 yang gemar membacakan cerita rakyat macam si Kancil.
Anak-anak Menggeret Orangtua
Selain berfokus utama pada penumbuhan minat baca, beberapa bulan sekali Stasiun Buku juga membuat bazaar murah sembako (sembilan bahan pokok) dan buku-buku untuk warga kampung sekitar karena harga-harga kebutuhan pokok yang meninggi) bekerja sama dengan lembaga-lembaga sosial yang mau membantu. Bagi kaum ibu juga ada pengajian dan semacam bincang-bincang antarorangtua yang waktunya tidak ditentukan.
Omong-omong, soal minat baca dan sejenisnya, selama ini selalu ditekankan, dari atas ke bawah, dari orangtua, guru ke anak. Tapi di Stasiun Buku, yang terjadi malah sebaliknya.
“Sekarang, banyak juga orangtua yang tertarik datang. Melihat anak-anaknya punya kegiatan baru. Berminat membaca. Misalnya, beberapa orang bapak yang menjadi penarik ojek,” kisah Santi, ”Sedikit demi sedikit, saya harap ini juga menumbuhkan kesadaran mereka akan pentingnya pendidikan yang setinggi-tingginya bagi anak-anak mereka.”
Dana, Swadaya yang Bergulir
“Sumber dananya dari Allah,” kata Santi tentang pembiayaan Stasiun Buku yang mereka rintis, “Dipersilakan lho, dengan senang hati bila ada yang mau jadi ‘makelar’ Allah. Kebetulan Stasiun Buku saat ini sedang mencicil beberapa ensiklopedi yang sangat bermanfaat untuk anak-anak kampung ini yang harganya rata-rata di atas satu juta rupiah.”
Sesudah berhasil menarik minat ratusan anak dan keluarganya untuk menjadi anggota Stasiun Buku dari mulut ke mulut, Santi dan Wisnu melanjutkan memperkenalkan Rumah Baca Stasiun Buku mereka ke sejumlah mailing list di internet.
Hasilnya, “Alhamdulillah, tanggapan yang kami terima kok bagus semua. Beberapa rekan menyumbangkan uang untuk membeli buku maupun menyumbangkan buku langsung ke Stasiun Buku.”
Tujuan lebih luasnya sebenarnya, “Semoga makin banyak orang berprakarsa seperti ini, lalu bisa membuat jaringan perpustakaan kampung yang secara berkala saling bertukar koleksi
buku. Karena anak-anak ini,
Subhanallaah, cepat benar melahap buku dan segera bosan dengan koleksi yang tersedia.”
Dan sungguh menyenangkan, memang mulai bertumbuhan. Menurut Santi, “Ada Agus Haryono yang baru datang dari Jepang yang akan mendirikan Stasiun Buku di Serpong, Mas Pepeng dan Mas Agung yang akan mendirikan Stasiun Buku di tempat masing-masing. Juga novelis Gola Gong yang sudah mendirikan Stasiun Buku Rumah Dunia di Serang. Termasuk sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Yayasan Insan Sahabat yang sehari-hari bekerja keras memberdayakan kaum dhuafa, terutama anak-anak putus sekolah atau tak sekolah di Depok yang berniat mendirikan Stasiun Buku pula.”
Niat dan rintisan macam ini diharapkan bisa menjadi suatu jaringan yang semakin luas dan menjangkau banyak anak yang membutuhkan. “Dan sudah ada bantuan rencana kerja dari Upik Djalins dan dukungan Ida Sitompul yang telah membuat semacam Stasiun Buku dengan Pondok Baca Arcamanik di Bandung.”
Berkelanjutan, Sangat Penting
Bagi Santi dan Wisnu, menjaga apa yang sudah dirintis, sama pentingnya dengan memulai. Bukan hanya dana yang utama, tapi juga sumber daya pengelola dan pengelolaannya.
Rumah Baca Stasiun Buku sebenarnya adalah upaya kedua. Yang pertama adalah Rumah Baca Askia di rumah mereka di Bintaro. “Umurnya hanya sekitar setahun. Tahun 1999, saya dapat beasiswa ke Inggris. Dan begitu pulang, rumah itu dijual untuk ‘beli beras.’ Ya otomatis tutup,” kenang Santi.
Tapi, begitu mereka menempati rumah kontrakan di kawasan Depok, September 2000 itu pula, rumah baca berikutnya, Stasiun Buku, dirintis kembali. “Karena belum ada pengelolanya, buku-buku ya hanya dicatat dan ditata di rak. Belum dibuatkan katalog dan semacamnya. ‘Pustakawan’-nya juga sukarelawan, siswi SMA yang baru berusia 15 tahun.”
Gagasan rumah baca ini sendiri didapat Santi kala ke Jepang, Juli 1998. “Di Tokyo, saya perhatikan, para ibu di lingkungan RT serta pengarang cerita anak, bersama-sama mendirikan semacam perpustakaan untuk anak-anak sekitar. Waktu ke Swedia tahun 2001, saya dapati banyak sekali buku untuk anak dengan berbagai maksud, sesuai kondisi anak. Ada buku dengan huruf besar-besar, talking book, dan buku timbul, buku kain untuk anak-anak tuna netra atau yang baru belajar membaca.
Sekali lagi, semuanya swadaya, ternyata. Jepang yang dikenal dengan kemajuan teknologi dan tingkat kesejahteraan yang baik kini, rasanya dibangun dengan semangat macam ini. Dari lingkungan terkecil yang paling dekat dengan kehidupan manusia. Keluarga.
Kita, Indonesia, rasanya juga bisa. Kalau mau.
---Selesai---
Dibuka resmi pada September 2000, Stasiun Buku dimulai dengan 700-an buku dan 50 anggota. Kini bukunya sekitar 800 tetapi anggotanya sudah meledak jadi 400-an anak usia Pra-TK, TK, SD, SLTP, bahkan beberapa di antaranya SMU. Tidak sedikit juga yang putus sekolah. Mereka kebanyakan berasal dari keluarga yang tak cukup mampu menyediakan bacaan bagi anak-anaknya.
Dengan atau Tanpa Televisi, Tak Masalah!
Kalau sedang hujan deras, puluhan anak yang biasanya sebagian membaca-baca di halaman, akan berdesak-desakan di perpustakaan yang menempati
ruang tamu ukuran empat kali empat meter di rumah kontrakan itu. Menonton VCD film-film yang yang dianggap baik dan bermanfaat. Macam Children of Heaven dan Discovery Channel.
Nama Stasiun Buku sendiri sebenarnya dipilih dengan semangat "perlawanan." Awalnya, “Saya dan suami saya, Wisnu Pramudya prihatin pada menjamurnya penyewaan Play Station di sudut-sudut kampung. Pulang sekolah, anak-anak diracuni permainan yang tak banyak gunanya dan menghabiskan uang orangtuanya,” kata Santi, yang tahun 1980-an dikenal sebagai cerpenis di sejumlah majalah remaja.
“Dari Play Station mereka pulang, lalu harus berhadapan lagi dengan televisi yang semakin tak sehat isinya. Karenanya nama yang dipilih Book Station alias Stasiun Buku. Lawannya Play Station, he…he…,” lanjut Santi tentang permainan yang dianggap sangat mengalihkan perhatian anak-anak untuk bermasyarakat sekaligus mengedepankan kekerasan pada usia yang demikian dini itu.
Santi dan Wisnu juga sepakat untuk mengambil langkah lebih jauh yang diterapkan di keluarga mereka sendiri. “Dijamin, di rumah baca ini juga tak ada televisi. Kami berharap ada kesan yang kuat bagi anak-anak, bahwa rumahyang nyaman dan penuh ilmu pengetahuan tak harus ada televisinya. Mmeskipun juga tak harus tidak ada televisinya.”
Sejauh ini, dua putri mereka yang berusia 13 dan tiga tahun, tampaknya bisa menerima pilihan orangtuanya. Pengaruh positifnya adalah, “Putri bungsu saya, kalau dituruti dalam sehari bisa minta dibacakan sampai 15 buku,” tutur Santi yang kini memutuskan untuk menjadi penulis lepas usai bergabung dengan Jakarta Post sebagai redaktur sosial politik sejak 1996, “Di sela-sela tugas saya memasak dan mengurus rumah.”
Dari Sabun sampai Sarung
Sebulan sekali, Stasiun Buku mengadakan perlombaan untuk anak-anak. Ada lomba menulis surat cinta untuk orangtua, lomba melukis peta, lomba bercerita, lomba mengarang, dan yang favorit, lomba mencari jejak harta karun.
“Saya dibantu putri sulung saya. Mereka bersemangat sekali ikut. Hadiahnya, tergantung rezeki dan sumbangan. Kadang sarung atau T-shirt. Tapi kalau sedang tak ada, persediaan bulanan sabun mandi di rumah pun bisa jadi hadiah. Anak-anak itu senang-senang saja. Tanpa memandang harganya, seberapapun kecilnya, yang penting adalah pengakuan atas pencapaian mereka,” ujar Santi.
Dan setiap Minggu, pukul 10.00 ada acara mendongeng. Yang mendongeng, bisa berganti-ganti. Kadang Santi, “Yang saya bacakan biasanya dari buku-buku berbahasa Inggris, hadiah dari teman-teman waktu saya kuliah S2 Politik dengan beasiswa British Chevening Award tahun 1999-2000.” Kadang suaminya, Wisnu Pramudya. Bahkan Ayu (15), siswi SMU kelas 2 yang gemar membacakan cerita rakyat macam si Kancil.
Anak-anak Menggeret Orangtua
Selain berfokus utama pada penumbuhan minat baca, beberapa bulan sekali Stasiun Buku juga membuat bazaar murah sembako (sembilan bahan pokok) dan buku-buku untuk warga kampung sekitar karena harga-harga kebutuhan pokok yang meninggi) bekerja sama dengan lembaga-lembaga sosial yang mau membantu. Bagi kaum ibu juga ada pengajian dan semacam bincang-bincang antarorangtua yang waktunya tidak ditentukan.
Omong-omong, soal minat baca dan sejenisnya, selama ini selalu ditekankan, dari atas ke bawah, dari orangtua, guru ke anak. Tapi di Stasiun Buku, yang terjadi malah sebaliknya.
“Sekarang, banyak juga orangtua yang tertarik datang. Melihat anak-anaknya punya kegiatan baru. Berminat membaca. Misalnya, beberapa orang bapak yang menjadi penarik ojek,” kisah Santi, ”Sedikit demi sedikit, saya harap ini juga menumbuhkan kesadaran mereka akan pentingnya pendidikan yang setinggi-tingginya bagi anak-anak mereka.”
Dana, Swadaya yang Bergulir
“Sumber dananya dari Allah,” kata Santi tentang pembiayaan Stasiun Buku yang mereka rintis, “Dipersilakan lho, dengan senang hati bila ada yang mau jadi ‘makelar’ Allah. Kebetulan Stasiun Buku saat ini sedang mencicil beberapa ensiklopedi yang sangat bermanfaat untuk anak-anak kampung ini yang harganya rata-rata di atas satu juta rupiah.”
Sesudah berhasil menarik minat ratusan anak dan keluarganya untuk menjadi anggota Stasiun Buku dari mulut ke mulut, Santi dan Wisnu melanjutkan memperkenalkan Rumah Baca Stasiun Buku mereka ke sejumlah mailing list di internet.
Hasilnya, “Alhamdulillah, tanggapan yang kami terima kok bagus semua. Beberapa rekan menyumbangkan uang untuk membeli buku maupun menyumbangkan buku langsung ke Stasiun Buku.”
Tujuan lebih luasnya sebenarnya, “Semoga makin banyak orang berprakarsa seperti ini, lalu bisa membuat jaringan perpustakaan kampung yang secara berkala saling bertukar koleksi
buku. Karena anak-anak ini,
Subhanallaah, cepat benar melahap buku dan segera bosan dengan koleksi yang tersedia.”
Dan sungguh menyenangkan, memang mulai bertumbuhan. Menurut Santi, “Ada Agus Haryono yang baru datang dari Jepang yang akan mendirikan Stasiun Buku di Serpong, Mas Pepeng dan Mas Agung yang akan mendirikan Stasiun Buku di tempat masing-masing. Juga novelis Gola Gong yang sudah mendirikan Stasiun Buku Rumah Dunia di Serang. Termasuk sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Yayasan Insan Sahabat yang sehari-hari bekerja keras memberdayakan kaum dhuafa, terutama anak-anak putus sekolah atau tak sekolah di Depok yang berniat mendirikan Stasiun Buku pula.”
Niat dan rintisan macam ini diharapkan bisa menjadi suatu jaringan yang semakin luas dan menjangkau banyak anak yang membutuhkan. “Dan sudah ada bantuan rencana kerja dari Upik Djalins dan dukungan Ida Sitompul yang telah membuat semacam Stasiun Buku dengan Pondok Baca Arcamanik di Bandung.”
Berkelanjutan, Sangat Penting
Bagi Santi dan Wisnu, menjaga apa yang sudah dirintis, sama pentingnya dengan memulai. Bukan hanya dana yang utama, tapi juga sumber daya pengelola dan pengelolaannya.
Rumah Baca Stasiun Buku sebenarnya adalah upaya kedua. Yang pertama adalah Rumah Baca Askia di rumah mereka di Bintaro. “Umurnya hanya sekitar setahun. Tahun 1999, saya dapat beasiswa ke Inggris. Dan begitu pulang, rumah itu dijual untuk ‘beli beras.’ Ya otomatis tutup,” kenang Santi.
Tapi, begitu mereka menempati rumah kontrakan di kawasan Depok, September 2000 itu pula, rumah baca berikutnya, Stasiun Buku, dirintis kembali. “Karena belum ada pengelolanya, buku-buku ya hanya dicatat dan ditata di rak. Belum dibuatkan katalog dan semacamnya. ‘Pustakawan’-nya juga sukarelawan, siswi SMA yang baru berusia 15 tahun.”
Gagasan rumah baca ini sendiri didapat Santi kala ke Jepang, Juli 1998. “Di Tokyo, saya perhatikan, para ibu di lingkungan RT serta pengarang cerita anak, bersama-sama mendirikan semacam perpustakaan untuk anak-anak sekitar. Waktu ke Swedia tahun 2001, saya dapati banyak sekali buku untuk anak dengan berbagai maksud, sesuai kondisi anak. Ada buku dengan huruf besar-besar, talking book, dan buku timbul, buku kain untuk anak-anak tuna netra atau yang baru belajar membaca.
Sekali lagi, semuanya swadaya, ternyata. Jepang yang dikenal dengan kemajuan teknologi dan tingkat kesejahteraan yang baik kini, rasanya dibangun dengan semangat macam ini. Dari lingkungan terkecil yang paling dekat dengan kehidupan manusia. Keluarga.
Kita, Indonesia, rasanya juga bisa. Kalau mau.
---Selesai---
loading...